Pengobatan NurSyifa’. Dalam keadaan sekarang ini hidup terasa
semakin sulit. Segala hal menjadi mahal. Dulu, jika sakit, tinggal pergi ke
dokter. Tapi sekarang ini banyak orang yang tidak bisa selalu menebus obatnya,
jika pergi ke dokter.
Sama seperti harga barang lain, harga obat
pun ikut-ikutan terbang ke langit. Sementara upaya untuk mengobati diri sendiri
pun bukan tanpa bahaya. Jika yang diobati sendiri bukan penyakit ringan, ongkos
pengobatannya menjadi lebih besar. Misalnya, jika harus dirawat di rumah sakit.
Memang ada kondisi yang bisa diobati sendiri dengan obat warung. Tapi ada
saatnya pula kapan harus ke dokter, serta bagaimana bersikap kritis dan
rasional dalam penggunaan obat.
Berikut ini panduan yang bisa dimanfaatkan
agar lebih Bijaksana dalam berobat.
Betul.
Bagaimanapun obat bisa menjadi "racun" jika salah alamat dan dipakai
secara berlebihan. Sekalipun itu obat warung, pasti ada efek sampingnya.
Lebih-lebih jika sering dipakai. Efek samping obat sakit
kepala terhadap ginjal dan hati, misalnya. Orang Amerika sudah jera, sebab obat
sakit kepala (aspirin) dulu diperlakukan masyarakat mirip kacang goreng. Sakit
kepala sedikit, langsung minum obat.
Pihak yang konservatif lebih takut menggunakan obat, sehingga
tidak sebentar-sebentar minum obat. Betapa ringannya pun obat itu pasti ada
efek buruknya bagi tubuh. Mereka yang bergerak di bidang pengobatan alternatif
merasa prihatin atas pemakaian bahan kimia obat pada tubuh. Pengobatan
homeopathy, mixobition, prana, orthomoleculer medicine, accupressure, maupun akupuntur,
sebetulnya hendak menjauhkan tubuh dari imbas bahan kimiawi obat. Jika masih
bisa sembuh atau meringankan tanpa obat, sebaiknya tidak memilih obat.
Memang,
tidak semua obat menyembuhkan penyakit. Jika pemakaian obat yang sama untuk
waktu lama tidak mengubah penyakit, mungkin obatnya memang tidak tepat. Dalam
keadaan begini, sebaiknya obat segera dihentikan. Prinsip
dalam memakai obat memperhitungkan unsur manfaat dan melupakan efek buruknya.
Jika masih punya manfaat, efek buruk obat boleh dilupakan. Tapi jika minum obat
tidak memberi manfaat, orang cuma memikul efek buruknya. Ini yang harus
dicegah.
Banyak pasien kanker juga tidak sudi diberi obat, sebab efek buruk
obat kanker dianggap menyengsarakan: rambut rontok, kulit jelek, dan sel darah
rusak. Karena manfaatnya cuma memperpanjang hidup dan efek buruknya dirasa
menyengsarakan, maka orang tidak memilih obat.
Obat menjadi tidak bermanfaat kalau dokter salah mendiagnosis.
Pemakaian obat untuk penyakit baru yang tanpa reaksi kesembuhan harus
dicurigai. Dalam hal ini selain salah mendiagnosis, bisa saja dokter salah
memberi obat, atau obatnya memang palsu.
Rata-rata obat sudah memberikan reaksi setelah beberapa kali
diminum. Obat suntik segera memberikan reaksi. Jika tidak ada reaksi sama
sekali, tanyakan pada dokternya. Melanjutkan obat tanpa khasiat, selain
merugikan kocek, juga memikul efek buruk obat.
Benar.
Dalam meresepkan obat, dokter berpola pada dua hal. Pertama, memberikan jenis
obat untuk meringankan keluhan dan penderitaan pasien.
Jenis obat ini sebetulnya perlu tidak perlu. Jika pasien bisa tahan dengan
keluhan demam, nyeri, batuk, mual, atau muntahnya, dan dokter memperkirakan
tidak akan mengancam jiwa, obat pereda keluhan dan gejala tidak begitu perlu.
Yang lebih perlu tentu obat pokok. Obat ini yang membasmi atau
meniadakan sumber penyakitnya. Kalau infeksi, ya, antibiotiknya. Kalau darah
tinggi, ya, penyebab darah tingginya. Soal pereda demam, pereda nyeri kepala,
pusing, boleh diberi boleh tidak.
Orientasi dokter sering memihak pada permintaan pasien. Kebanyakan
pasien mengira keluhan dan gejala yang mereda identik dengan sembuh. Karena itu
pasien (dan sering-sering juga dokter) lebih mementingkan obat simptomatik
daripada obat untuk meniadakan penyebab penyakitnya. Dengan atau tanpa obat
simptomatik, asal pilihan obatnya tepat, sebetulnya penyakit akan sembuh juga.
Bukan
sebab harganya tinggi maka obat lebih bermutu. Semua obat generik, yang meniru
obat aslinya, jika dibuat dengan standar pembuatan obat yang baik (CPOB), pasti
sama manjurnya.
Banyak kali kesembuhan pasien ditentukan pula oleh faktor
psikisnya. Rasanya kurang tokcer kalau tidak minum obat mahal. Pasien dari awal
sudah tidak percaya pada obat yang berharga rendah. Sugesti begini bisa
berpengaruh terhadap proses kesembuhan dan memang bisa tidak sembuh betulan. Efek Placebo begini banyak menghantui
orang kota. Imbasnya, dokter yang tak mau dianggap kurang bonafid akan selalu
memberi resep yang mahal, walaupun ia tahu ada pilihan yang lebih murah. Takut
pasien nggak sembuh. Padahal obat sama yang lebih murah mengobati lebih banyak
pasien (di pedesaan) yang dari awalnya memang percaya saja.
Benar.
Orang sekarang doyan sekali banyak minum berbagai jenis obat sekaligus. Minum
obat jadi kebanggaan. Padahal di negara-negara maju, orang mampu pun semakin
membatasi pemakaian obat.
Semakin berderet resep yang diberikan dokter, mungkin saja bisa
mencerminkan keragu-raguan dokter. Tapi itu juga bisa untuk menenteramkan hati
pasien, yang dianggap dokter punya efek menyembuhkan juga.
Banyak ahli obat mencemaskan kecenderungan dokter sekarang yang
menulis resep lebih banyak. Resep yang disebut bersifat polypharmacy menjadikan perut pasien mirip apotek. Semua jenis obat
masuk. Hal ini sering tidak rasional.
Pemakaian obat secara berlebihan yang tidak jelas manfaat dan
tujuannya, jelas merugikan pihak pasien. Kasus kesalahan pihak dokter dalam
memberi obat atau iatrogenic menjadi
pembicaraan masyarakat modern. Kini, semakin banyak kasus orang sakit akibat
kebanyakan obat yang tidak perlu. Penyakit iatrogenic sedang dicemaskan
masyarakat yang sadar akan bahaya obat.
Kesalahan
selama ini sebab pasien tidak memanfaatkan haknya untuk bertanya pada dokter
yang memeriksanya. Jangankan bertanya obat yang diberikan, soal apa penyakitnya
pun sering pasien belum tahu. Pasien cenderung menerima saja apa yang dikatakan
dan diberikan dokter.
Di pihak lain, kondisi yang tersedia pada kebanyakan dokter di
negara berkembang kurang cukup waktu bagi dokter untuk menjawab pertanyaan
pasien. Dokter berpikir, yang penting sembuh, pasien tak perlu banyak bertanya.
Namun dalam hal obat, pasien perlu bertanya. Kultur pasien di
Barat selalu memanfaatkan haknya untuk bertanya. Bahkan bertanya apa saja,
sebab memang kewajiban dokter untuk menjelaskan, apa yang dilakukan dokter
terhadap diri pasiennya. Termasuk obat apa yang diberikan, bagaimana cara
kerjanya, apa efek buruknya, dan seterusnya.
Pasien yang banyak bertanya menguntungkan dirinya dalam banyak
hal. Begitu juga dalam hal resep yang dia terima. Mestinya, pasien menanyakan
jenis-jenis obat yang diresepkan dokter. Apa gunanya dan apa bahayanya. Apakah
boleh dikurangi? Misalnya, obat-obat yang cuma meringankan keluhan dan gejala,
apa bisa dicoret dari resep atas kesepakatan dokternya.
Ya, acap
kali terjadi apotek menukar obat yang tidak sesuai dengan yang dituliskan
dokter tanpa sepengetahuan dokter. Motifnya lebih karena alasan ekonomi.
Mungkin obat yang diminta dokter memang tidak ada. Agar pasien tidak mencari ke
apotek lain, apotek menukarnya sendiri dengan obat yang sama dari pabrik yang
lain.
Mungkin juga sebab kenakalan apotek, misalnya sengaja menukarnya
dengan obat yang walaupun sama tapi harganya lebih tinggi, atau yang memberi
untung lebih besar bagi apotek. Ini berarti merugikan kocek pasien, padahal
khasiat kesembuhannya tidak berbeda. Sekali lagi obat yang lebih tinggi
harganya tidak berarti selalu lebih manjur.
Pasien
sering bingung apa obat yang diberikan dokter perlu dihabiskan atau tidak. Juga
karena komunikasi pasien - dokter yang buntu, pasien dirugikan sebab memakai
obat secara salah. Sebab, tidak semua obat yang diberikan dokter perlu
dihabiskan.
Obat jenis simptomatik, yaitu untuk meredakan keluhan dan gejala
pasti tidak perlu dihabiskan. Hanya diminum kalau keluhan dan gejalanya masih
ada atau muncul lagi.
Obat yang masih sisa sebaiknya disimpan baik-baik. Jika tahu
indikasinya, obat yang disimpan baik bisa dipakai kembali jika mengalami
keluhan yang sama.
Benar.
Demi penghematan dan efisiensi, masih arif kalau tidak selalu pergi berobat
setiap kali sakit. Untuk dapat berperan demikian tentu perlu pengetahuan medis
dari bacaan dan pergaulan. Jika batuk pilek saja, bisa minum obat sendiri.
Begitu juga jika mulas, pening, pusing, atau mual.
Hampir kebanyakan penyakit harian, biasanya akan sembuh sendiri
walaupun tidak diobati. Tubuh kita punya mekanisme penyembuhannya yang besar.
Intervensi obat yang terlalu cepat atau berlebihan justru mengganggu mekanisme
alamiah tubuh.
Obat warung dibutuhkan jika orang sudah merasa terganggu dengan
keluhannya. Misalnya, peningnya bikin susah tidur, atau mualnya sampai nggak
bisa makan, obat baru diperlukan. Selama bisa tanpa obat, biarkan tubuh
menyembuhkannya sendiri. (*Ikuti
Pelatihan Self Healing NurSyifa’).
Jadi, kapan kita harus ke dokter? Yaitu bila keluhan dan gejala
yang sama tidak menghilang sampai beberapa hari. Atau keluhan dan gejala yang
sama berkembang progresif. Semakin hari keluhan dan gejalanya semakin berat.
Ini tanda penyakitnya bertambah parah dan perlu intervensi medis.
Batuk-pilek lebih dari seminggu pun perlu diwaspadai. Siapa tahu
sudah radang paru-paru, sinusitis, atau congekan. Mengobati sendiri memang
tidak selamanya aman, selain berisiko membiarkan penyakit telanjur bertambah
parah. Tapi dengan pengetahuan dan wawasan medis yang semakin banyak, di saat
harga obat dan berobat menjadi semakin mahal, upaya pengobatan sendiri menjadi
pilihan untuk efisiensi.
Motto
lebih baik mencegah daripada mengobati harus diingat kembali. Sebetulnya,
banyak upaya bisa dilakukan supaya tidak gampang sakit.
Pertama, kondisi tubuh jangan sampai diperlemah. Dalam kondisi
seperti sekarang, stres bisa merusak badan juga. Orang kurang doyan makan, menu
menurun mutunya, istirahat terganggu sebab semakin susah tidur, pekerjaan
bertambah berat karena harus cari tambahan kiri-kanan. Semua itu memperburuk
pertahanan tubuh.
Dalam kondisi pertahanan tubuh yang buruk penyakit mudah
menyerang. Selain infeksi, maag, darah tinggi, herpes zoster, sering flu, atau
kena virus lain yang kesemuanya lazim menyerang orang dengan kondisi tubuh yang
dibiarkan menurun terus.
Dalam keadaan seperti sekarang ini, tetaplah hidup teratur. Dalam
musim penghujan perlu membuat tubuh lebih hangat. Pilih menu yang hangat,
seperti soto, sop, dan berprotein tinggi. Jauhkan menu dan jajanan yang dingin
seperti gado-gado, rujak, asinan, buah dingin, masakan Padang, serta semua yang
dihidangkan secara instan, tidak panas, atau dimakan mentah.
Ketika tubuh mulai terasa kurang enak, stop kerja berat, makan
makanan yang lebih banyak mengandung protein (daging, ikan, susu, telur), dan
beristirahat lebih banyak atau lebih sering. Jika merasa lesu dan mengantuk
berarti tubuh memang mengajak kita untuk beristirahat. Isyarat ini jangan
dilawan. Kalau memang maunya tidur terus, bawalah tidur dan jangan melakukan
aktivitas apa pun, sekali pun menonton TV atau membaca.
Banyak penyakit yang menyerang orang yang tubuhnya sedang lemah.
Semua penyakit virus, termasuk demam berdarah (yang kini cenderung menyerang
orang dewasa juga, selain anak-anak), cacar air, herpes zoster dan herpes
simpleks mulut, flu, dan banyak penyakit perut disebabkan oleh virus dari
jajanan dan lingkungan kotor.
Semua ancaman di sekitar kita tidak mungkin kita redam. Yang bisa
dilakukan hanya membuat tubuh lebih kuat dengan menu bergizi, cukup
beristirahat, dan olahraga untuk melawan semua ancaman itu. Jika tubuh terasa
loyo, mungkin diperlukan vitamin C, E, dan mineral lebih banyak, selain buah
dan sayur-sayuran. *
Oleh: Dr. Handrawan Nadesul
--------------------------------------------------------
Pelajari Info Berikut ini :